Senin, 08 Mei 2017

Resensi buku pengantar ilmu hubungan internasional



Judul Buku : Hubungan Internasional: Perspektif dan TemaPenerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta


Penulis : Jill Steans dan Lloyd Pettiford
Cetakan : I, Februari 2009
Tebal : xviii + 500 halaman
Cover : Latar hitam dan biru


Laju perubahan “tatanan dunia” mengakibatkan makin berkembangnya cakupan kajian Hubungan Internasional. Keadaan ini menuntut kita mempertanyakan kembali cara kita dalam memahami sebuah dunia yang makin kompleks.
Dalam perspektif dan tema, Hubungan Internasional menunjukkan dinamisasi yang cepat. Apalagi terkait soal teori dan kronologi waktu yang ada, hubungan antar-teori (antar-perspektif) sifatnya saling kritik satu sama lain.
Di mulai tahun 1920-an sebagai titik poin mulai berkembangnya studi Hubungan Internasional, kaum liberalis dengan perspektifnya mengkritik kondisi politik internasional yang oleh kaum realis menganggap dunia tidak dapat dilepaskan dari sifat dasarnya, yaitu anarkhis.
Hal tersebut pun berusaha dibuktikan oleh kaum liberalis yang berangkat dari bidang ekonomi bahwa dunia ini dapat didamaikan lewat kerjasama dan perdagangan. LBB (Liga Bangsa-Bangsa) dibentuk sebagai penjaga perdaimaian dunia sekaligus bentuk antisipasi bahwa PD I yang terjadi tahun 1914 tidak akan terulang kembali.
Namun kenytaannya hal ini dimentahkan kemabali oleh kaum realis dengan meledaknya PD II tahun 1934-1945 yang membenarkan bahwa dunia pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari peperangan (anarkhi). Bahkan rentang waktunya jauh lebih lama dari PD I sebelumnya. Selanjutnya dua perspektif ini saling serang sampai tahun 1960-an yang saat itu juga bermunculan perspektif-perspektif baru.
Sebut saja Marxisme, ia hadir sebagai perlawanan terhadap Barat yang membentuk konstalasi politik internasional bersifat unipolar sebelumnya. Oposisi ini pun cukup berhasil dengan berubahnya unipolar menjadi bipolar yang dikenal dengan situasi Perang Dingin sampai penghujung tahun 1990-an. Marxisme juga dalam perlawanannya mengkritik Barat yang cenderung inkosistensi dan bermuka dua, yaitu secara bersamaan menggunakan dua perspektif yang saling kontra-posisi (realis dan liberalis) selain juga paham kapitalis sebagai simbol perlawanan terhadap kaum borjuis.
Pertengahan abad 20 saat itu juga banyak perspektif bermunculan dari dunia akademis terkait konsepsi ilmu pengetahuan. Behavioralis dan Positivis, ilmu pengetahuan pasti (eksakta) mulai menunjukkan kemajuan pesatnya saat itu. Bahwa ilmiah atau tidaknya suatu disiplin ilmu, sebagai indikatornya adalah seberapa mampu ia diilmu-hitungkan dengan formula atau teori yang ada. Titik poin inilah yang kemudian dijadikan reformasi bagi perspektif-perspektif klasik sebelumnya (realis, liberalis, marxis) dengan melakukan perubahan menjadi Neo-Realis, Neo-Liberalis, dan Neo-Marxis sebagai disiplin ilmu sosial yang lebih ilmiah dan tidak terkesan utopis.
Sementara itu, perspektif Strukturalis dan Teori Kritis mulai menunjukkan kehadirannya seiring semakin rumitnya permasalahan yang dihadapi manusia. Dua perspektif ini merupakan pengembangan ulang dari gagasan Karl Marx akan ketidak-mampuan sistem internasional (liberalis-kapitalis) dalam menciptakan kesejahteraan bagi umat manusia. Bagi Teori Kritis, ia mempunyai daya tarung yang cukup luas, karena dalam gagasannya ia mengkritik semua teori dan perspektif HI yang telah mapan sebelumnya.
Tampaknya perspektif Posmodernisme mempunyai hutang budi dengan Teori Kritis yang di Eropa lebih dikenal dengan sebutan Mazdab Frankfurt (Frankfurt School). Berkat tingkat kepekaan yang dimiliki oleh perspektif Teori Kritis dalam melihat situasi global, perspektif Posmodernisme pun kemudian lahir dengan lebih berani menyuarakan tentang kebebasan dalam arti hilangnya kesenjangan dan persamaan hak (emansipatoris). Posmodernisme tak ubahnya seperti kunci yang membuka pintu gerbang untuk merangsang lahirnya perspektif-perspektif baru dalam studi HI, tidak heran jika kemudian setelah ini perspektif yang ada dalam HI semakin berwarna dan luas cakupannya.
Sebagai contoh adalah gerakan Feminisme dan Politik Hijau (Green Thought). Feminisme hadir untuk menjawab sistem internasional yang terlalu patriarkis, menghilangkan tingkat kesenjangan yang dialami kaum perempuan untuk mendapatkan hak-hak yang seharusnya. Bahwa kaum perempuan masih hidup dalam ketidak-adilan dan minimnya keterlibatan perempuan di ruang publik adalah wacana yang terus diperjuangkan oleh perspektif emansipasi ini.
Ketika kesadaran manusia mulai tumbuh akan ancaman alam karena terlalu banyaknya degradasi lingkungan, perspektif Green Thougth hadir berangkat dari rasa kepedulian akan kelangsungan makhluk hidup dan bagaimana seharusnya pergaulan manusia dengan alam sekitar itu terbentuk. Gerakan hemat energi, penggunaan alat-alat ramah lingkungan, dan mengurangi eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan merupakan kampanye yang terus didengungkan oleh Green Thought.
Buku ini cukup komprehensif dalam mengulas perdebatan antar-perspektif yang ada dalam studi HI. Mulai dari perspektif klasik hingga kontemporer menunjukkan kelengkapan materi meskipun miskin istilah sebagaimana versi aslinya.
Untuk kedepan, diharapkan studi HI akan dipenuhi dengan perspektif yang lebih humanis dan dapat berfungsi guna bagi kelangsungan hidup manusia. Bahwa apapun yang ada dalam studi HI diharapkan dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat luas untuk menegasikan stigma “ilmu wacana”, atau setidaknya menjadi cara pandang masyarakat dunia untuk dapat lebih bersikap arif dan bijak. Sehingga dari sini dapat tercipta gelombang kesadaran dengan mengedepankan rasa kebersamaan dan saling memiliki antar-subjektifitas satu dengan lain tanpa terhalang oleh batas negara, suku, ras, budaya, dan agama untuk membentuk tata kehidupan lebih manusiawi.

Lorenzo akui sulit juara dunia motoGP 2017


Lorenzo akui sulit juara dunia motoGP 2017






Pebalap Spanyol Jorge Lorenzo, mengakui bakal sulit merebut gelar juara MotoGP 2017. Keraguan X-Fuera tersebut bersumber dari kemampuan motor Desmosedici GP17 yang diperkirakan tak bisa kompetitif di setiap sirkuit. Selain itu, Lorenzo menilai pacuan juara pada 2017 semakin berat dengan kemunculan Maverick Vinales yang baru bergabung dengan Movistar Yamaha. Marc Marquez juga dinilai menjadi ancaman terbesar karena semakin berpengalaman setelah tahun lalu meraih gelar juara dunia dengan mengesankan.
"Saya direkrut (Ducati) untuk mendapatkan hasil lebih baik. Namun, ada beberapa pebalap muda yang berkembang. Honda menunjukkan perkembangan sangat besar. Maverick sangat lapar dan Marquez sudah lebih berpengalaman," kata Jorge Lorenzo, seperti dilansir AS, Selasa (28/2/2017). 
"Saya rasa dengan motor ini kami bisa menang di beberapa sirkuit, tapi tidak untuk perebutan gelar juara dunia. Sangat sulit membayangkan bertarung memperebutkan titel juara dunia (dengan motor Desmosedici)," imbuh pebalap yang sudah tiga kali merebut titel juara dunia MotoGP tersebut.
Adaptasi Lorenzo dengan motor anyar Ducati sejauh ini belum berjalan mulus. X-Fuera kesulitan menembus posisi atas pada tes pramusim di Sepang (Malaysia) dan Phillip Island (Australia). Pada tes terakhir di Phillip Island, Lorenzo hanya mampu menempati posisi kedua. Adapun dua pebalap muda, Vinales dan Marquez, masing-masing mencatatkan waktu tercepat pertama dan kedua.         
Rekan setim Lorenzo, Andrea Dovizioso, sebelumnya juga mengakui perkembangan yang ditunjukkan motor Ducati belum cukup untuk bersaing dengan tim lain, terutama Honda dan Yamaha. Dovizioso juga mengamini motor Ducati sulit untuk kompetitif di setiap sirkuit. 
Menurut Lorenzo, Desmosedici GP17 malah lebih meyakinkan pada trek basah dibanding yang kering.
"Ada sejumlah sirkuit yang mudah bagi kami dan motor sangat cocok. Namun di trek kering, Ducati agak bermasalah karena kadang selip. Pada trek basah kondisi lebih baik," kata Jorge Lorenzo.